Blinkie Text Generator at TextSpace.net

Senin, 07 September 2009

Amos Palu: Siang Jadi Guru, Malam Jaga Sekolah

Oleh: Edna C Pattisina/Wartawan Harian Kompas

Pada siang hari Amos Palu menjadi guru merangkap Kepala Sekolah SMKN Kelautan Miangas. Ketika malam datang, dia menjadi penjaga di sekolah yang terletak di ujung Desa Miangas, kawasan ujung utara Indonesia ini.

Jangan cari ruang kepala sekolah di SMKN Kelautan Miangas. Ruangan itu menjadi ”rumah” Amos dan istrinya, Marce Lalala. Berkat pembatas berupa lemari, di balik papan berisi tabel jumlah siswa, ada meja makan, lemari baju, tempat tidur, dan dapur dengan tungku kayu bakar di teras.

”Memang cuma ini, pas untuk kami berdua,” kata Marce sambil mencuci raskin untuk makan siang.

Marce yang berperawakan agak gemuk tersebut selalu tersenyum saat berbicara. Baginya, tempat itu sudah lebih dari cukup dibandingkan dengan saat awal datang. Ketika itu mereka harus menumpang di rumah penduduk. Pagi hingga siang hari, saat sekolah aktif, banyak siswa di kompleks sekolah itu. Sorenya anak-anak bermain sepak bola. Tempat ini tak pernah sepi.

”Kami betah di sini. Walau pernah pada tahun 2008 kami tak punya makanan. Waktu itu semua penduduk di sini juga mengalami hal sama. Tapi, ada laluga (ubi setempat) sehingga kami tetap bisa makan,” cerita Amos yang selalu serius ini.

Saat dilantik pada November 2006, ia baru sadar bahwa harus bekerja di pulau terluar republik ini. Padahal Amos mengira akan ditempatkan di Pulau Karakelong, ibu kota Kabupaten Talaud. Hati Amos sempat ciut setibanya di Miangas. Ia hanya menjumpai sederet ruang kelas, dengan 11 murid, tanpa satu pun guru. Amos terharu.

"Luluh hati ini. Saya cuma seorang pelayan. Di sinilah tempat saya bisa melayani anak-anak Miangas,” kata pria asal Pulau Kakorotan, pulau yang berjarak sehari semalam dari Miangas.

Ia lalu berinisiatif mengajak warga Miangas yang pernah mengecap pendidikan untuk mengajar para siswa angkatan pertama.

”Waktu itu dapat dua orang, pendeta dan istrinya, lulusan SMK untuk mengajar teori komputer,” ceritanya.

Kini ada tiga guru relawan hasil rekrutan Amos, yang terdiri dari sarjana teologi, sarjana ekonomi, dan sarjana pendidikan luar sekolah. Dia sendiri sarjana Bahasa Indonesia lulusan 2006. Bersama seorang guru tata busana yang juga pegawai negeri sipil (PNS) seperti Amos, lengkaplah tim pengajar.

Mereka mengajar berbagai mata pelajaran, termasuk 14 mata pelajaran kompetensi keahlian yang berhubungan dengan bidang SMK yang diresmikan dengan nama SMKN 2 Talaud bidang Keahlian Kelautan, Program Keahlian Budidaya Ikan Laut.

Jangan tanya soal gaji. Apalagi gaji dari pemerintah. Dalam sebulan, para relawan guru ini ”bergaji” hasil bumi dari masyarakat dan uang antara Rp 100.000 dan Rp 200.000, hasil iuran orangtua murid.

Adapun Amos, PNS golongan IV dengan tambahan tunjangan istri-anak dan kepala sekolah, setiap bulan menerima Rp 3.430.000. Tunjangan harian sebesar Rp 50.000 yang sempat ia terima dihapus sejak Mei 2008. Sesekali ia mendapat raskin 20 kilogram. Namun, hampir setiap hari ada hasil kebun pemberian masyarakat, seperti pisang, sampai hasil mengail, semisal ikan atau lobster.

Tanya Tunjangan
Tiga bulan lalu ada dua guru baru yang ”dimutasi” ke Miangas gara-gara mempertanyakan tunjangan kepada Pemerintah Kabupaten Talaud. Namun, saat ini mereka sedang pulang ke pulau masing-masing. Amos hanya bisa berharap mereka mau kembali.

"Perencanaan pemerintah tidak matang. Bagi kami, yang penting ada tenaga pendidik, biar ada dampak positifnya terhadap anak-anak,” katanya.

Dari 11 murid angkatan pertama SMK Kelautan yang ikut Ujian Nasional 2008, tiga orang berhasil lulus. Adapun pada tahun 2009, 26 murid peserta UN lulus semua, dengan rata-rata nilai Matematika mencapai 7,97.

”Kami memberikan jam tambahan bagi para siswa sebelum UN,” cerita Amos yang kali ini berbicara dengan senyum lebar.

Amos mengajak para orangtua murid, yang berjumlah 26 orang itu, untuk menyumbang masing-masing Rp 15.000 per bulan. Uang itu sebagian besar digunakan untuk honor para relawan dan keperluan lain, seperti praktik siswa membuat akuarium.

Tentang biaya operasional SMK, dalam anggaran tahun 2009 dari kabupaten tertulis, ada dana rutin sebesar Rp 32 juta dibagi 12 bulan. Namun, hingga Juli 2009, dana yang turun baru Rp 3 juta. ”Tahun lalu juga cuma turun Rp 6 juta. Katanya, enggak ada lagi anggaran,” cerita Amos.

Kocek Sendiri
Dengan kondisi keuangan seperti itu, semua beringsut perlahan, tetapi pasti. Untuk kertas, misalnya, Amos terpaksa meminjam satu rim dari SMP Miangas. Ini belum termasuk keperluan untuk tinta printer hingga bahan pelajaran yang harus difotokopi.

Untuk itu, daripada menunggu anggaran yang tak kunjung datang, Amos mengirim bendahara sekolah ke Melonguane, ibu kota kabupaten, dengan lama perjalanan tiga hari dua malam, guna ”menjemput” dana.

”Saya berharap, semoga kami dapat,” katanya perlahan.

Kalau untuk kebutuhan fisik standar proses belajar-mengajar saja harus pontang-panting, kebutuhan nonfisik lebih rumit lagi. Sebagaimana SMK yang harus banyak mengadakan praktik, siswa SMK Kelautan Miangas mestinya mulai magang di perusahaan sejak kelas XI.

Namun, hingga kini Amos—dengan dana dari kocek sendiri—harus membiayai percakapan lewat telepon seluler dan biaya perjalanan un- tuk menghubungi berbagai perusahaan perikanan di Bi- tung, Sulawesi Utara. Usaha- nya tersebut membuahkan hasil. Beberapa perusahaan bahkan menawarkan peluang untuk menjadi tempat kerja praktik siswa.

”Lebih dari setengah dari jumlah anak SMP Miangas keluar pulau ini untuk sekolah. Alasan orangtua mereka, pelayanan pendidikan di sini kekurangan guru,” ujarnya.

Bagi Amos, kehadirannya di tengah masyarakat Miangas adalah pelayanan hidupnya. Pria yang dua tahun lagi pensiun itu punya sebuah kekhawatiran. Dia iba meninggalkan anak-anak Miangas kalau nanti tak ada guru pengganti.

”Kalau saya sudah pensiun, saya tetap bersedia, biar cuma jadi guru bantu. Ini kalau memang tak ada orang yang mau menjadi guru di sini, Miangas,” tambah Amos.


Kompas.com, 28 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar