Blinkie Text Generator at TextSpace.net

Senin, 07 September 2009

Guru dan Makna Profesionalisme

Oleh Erick Hilaluddin
Guru SD Hikmah Teladan, Cimindi, Cimahi

Oemar Bakri... Oemar Bakri... pegawai negeri Oemar Bakri... Oemar Bakri... 40 tahun mengabdi Jadi guru jujur berbakti memang makan hati Oemar Bakri... Oemar Bakri... banyak ciptakan menteri Oemar Bakri... profesor dokter insinyur pun jadi Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri

Itulah sepenggal lirik lagu "Oemar Bakri" yang dinyanyikan dan dipopulerkan oleh musisi legendaris Iwan Fals pada tahun 1980-an. Lagu tersebut bercerita tentang seorang guru tua nan miskin bernama Oemar Bakri

Ia sudah puluhan tahun mengabdikan dirinya untuk dunia pendidikan dan telah membidani lahirnya para pejabat negeri ini. Namun, apa yang dilakukan ternyata tidak berbanding lurus dengan apa yang didapatkan. Begitulah kira-kira tafsir sederhana saya terhadap lagu tersebut. Ada dua hal yang menarik untuk kita cermati dari lagu "Oemar Bakri" itu. Pertama, Iwan Fals ingin memberikan gambaran obyektif tentang profesi guru saat itu. Guru merupakan profesi yang tidak elite, tidak bonafide, bergaji pas-pasan, dan tidak ada ruang untuk kemajuan. Gambaran Iwan Fals tentang kondisi guru mewakili anggapan dominan banyak orang saat itu. Tidak mengherankan, jarang ditemukan anak bercita-cita menjadi guru. Ketika anak-anak ditanya apa cita-citanya, jawaban mereka sudah bisa ditebak: ingin menjadi dokter, insinyur, pilot, presiden, dan sebagainya. Jarang sekali anak menjawab ingin menjadi guru.

Kedua, sang musisi ingin menyentil pemerintah yang saat itu kurang peduli terhadap pendidikan, khususnya nasib guru. Kita akan selalu ingat salah satu stigma Orde Baru yang sangat menghegemoni, yaitu guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Perkataan itu meninabobokan para guru untuk betah hidup dalam ketidaksejahteraan. Perkataan tersebut memaksa mereka puas dengan apa yang selama ini didapatkan.

Perlakuan dan penghargaan terhadap guru di Indonesia berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Jepang. Setelah Hiroshima dan Nagasaki rata dengan tanah akibat dibom sekutu, hal pertama yang ditanyakan kaisar kepada perdana menterinya adalah berapa guru yang masih hidup. Sang kaisar pun meminta guru-guru yang tersisa untuk dijaga, dipelihara, diberi makan cukup, dan diberi kesejahteraan yang memadai karena sang kaisar beranggapan bahwa guru adalah pijakan arah bangsa. Dari dulu hingga sekarang posisi guru di Jepang amat terhormat. Tidak mengherankan, negara itu maju pesat karena menjadikan guru sebagai arah pijakan bangsa.

Sekarang kondisi guru yang dulu memprihatinkan mulai sedikit berubah. Perhatian pemerintah terhadap pendidikan, khususnya guru, mulai tampak, misalnya dengan lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen pada 2005. Undang-undang itu bertujuan meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru melalui program sertifikasi walaupun pada akhirnya tidak sedikit guru yang terjebak pada penafsiran keliru terhadap profesionalisme dengan pemberian sejumlah uang dalam kurun waktu tertentu.

Penafsiran keliru tersebut dapat menjerumuskan para guru pada pengerdilan akan makna profesionalisme, bahkan membunuh mentalitas untuk mengabdi dan melayani secara tulus. Dalam pendidikan kita, antara profesionalisme dan apresiasi kerja telah rancu. Celakanya, profesionalisme telah dijadikan sama dengan apresiasi kerja, yakni pemberian penghargaan kepada guru yang lulus uji sertifikasi dengan sejumlah uang sebagai tanda bahwa ia telah menjadi guru profesional.

Hargai pilihan profesi

Terlepas dari pro dan kontra tentang munculnya program sertifikasi untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru, usaha itu perlu kita apresiasi dengan berusaha meningkatkan kompetensi dan kinerja sehingga bisa memberikan layanan pendidikan terbaik terhadap anak didik. Usaha pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru akan menjadi absurd seandainya guru, baik sebagai pribadi maupun komunitas, tidak melakukan perbaikan dari dalam diri.

Salah satu cara meningkatkan kompetensi adalah guru keinginan untuk terus belajar setiap waktu. Guru belajar memahami kondisi anak yang beragam untuk kemudian mencari metode pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan kontekstual sesuai dengan kebutuhan dan gaya belajar anak. Jadi, keragaman anak sebagai kodrat bisa terakomodasi dan terfasilitasi. Guru yang tidak mau belajar mengikuti perkembangan anak dan metode pembelajaran kontemporer merupakan lonceng kematian bagi dunia pendidikan.

Menjadi guru bukan sekadar rutinitas harian yang nyaris tanpa daya kejut, yaitu berangkat pagi pulang siang atau sore dan seterusnya atau datang ke sekolah, mengajar, memberikan ulangan, koreksi, remidi, membagikan hasil ulangan, dan seterusnya. Melakukan hal yang sama tetapi mengharapkan perubahan adalah kekonyolan dalam proses pendidikan.

Cara pandang yang lebih positif terhadap profesi yang sedang digeluti merupakan keniscayaan. Bagaimana mungkin orang akan menghargai profesi guru kalau guru sendiri tidak menghargainya? Kita semua tahu bahwa sikap dan cara pandang positif bisa berpengaruh besar terhadap kesuksesan dan kebahagiaan hidup seseorang.

Menurut William James, kita bisa mengubah seluruh hidup kita hanya dengan mengubah sikap dan cara pandang kita. Separah apa pun gambaran dan persepsi orang tentang guru, tetapi kalau sikap dan cara pandang guru selalu positif, mereka akan menjalani profesi tersebut dengan penuh kebahagiaan.

Saya teringat Thomas Edison yang mengalami seribu kali kegagalan dalam membuat bola lampu. Suatu hari, Edison ditanya seorang wartawan, "Tuan Edison, bagaimana rasanya gagal berkali-kali?" Dengan tenang Edison menjawab, "Seribu kali kegagalan saya dalam membuat bola lampu membuat saya tahu seribu cara yang tidak bisa dipakai untuk membuat bola lampu." Edison adalah satu dari sedikit orang yang senantiasa menjaga sikap dan cara pandang positifnya dalam melihat sesuatu.


Kompas.com, 20 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar